
Perusahaan cenderung menghabiskan uang paling banyak saat berbisnis di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN-5 lainnya, Ungkap Shinta Kamdani Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Menurutnya, konsekuensi dari mahalnya biaya berbisnis atau investasi adalah dapat menghambat bisnis yang ada
Shinta juga menambahkan, biaya yang tinggi ini menjadi hambatan bagi Indonesia untuk menjadi bagian dari rantai nilai global dan regional.
“Kita selalu mengatakan Indonesia harus menjadi bagian dari value chain, tapi ini logistik ita menjadi masalah,” ucap Shinta.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara dengan biaya logistik, rantai pasokan, energi, tenaga kerja, dan pinjaman yang paling tinggi di antara negara-negara ASEAN-5.
ASEAN-5 merujuk ke Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.
Asosiasi tersebut menginformasikan pada hari Selasa bahwa, Indonesia berada dalam kategori ekonomi berbiaya tinggi yang mengurangi daya saingnya di wilayah ASEAN-5.
“Masalah yang terus berlanjut di negara kita adalah bahwa Indonesia adalah ekonomi berbiaya tinggi. … Indonesia memiliki biaya tertinggi untuk logistik, energi, tenaga kerja, dan pinjaman di antara negara-negara ASEAN-5,” kata ketua Apindo.
Berdasarkan data dari Apindo, upah minimum di Indonesia adalah $329 per bulan, ini lebih tinggi dari rata-rata ASEAN-5 yang berada di $302. Malaysia dan Filipina juga memiliki upah minimum di angka yang sama yaitu $329, sementara di Thailand adalah $313. Vietnam memiliki upah minimum terendah yaitu $209. Selain itu, suku bunga pinjaman di Indonesia biasanya berkisar antara 8 dan 14 persen, angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata umum yaitu 4-6 persen.
Biaya logistik perdagangan di Indonesia mencapai 23,5% dari produk domestik bruto (PDB), yang jauh lebih tinggi dibandingkan 13% di Malaysia dan 8% di Singapura. Shinta menambahkan, “Meski Bappenas berpendapat bahwa biaya logistik Indonesia sudah turun menjadi 14% dari PDB, Logistic Performance Index (LPI) Indonesia tahun 2023 menunjukkan sebaliknya.”
Laporan (LPI) 2023 menunjukkan adanya area yang perlu ditingkatkan dalam kinerja logistik Indonesia.
Baca juga Sony & Nintendo absen di Gamescom 2024, Microsoft janji tampil dengan Xbox
“Khususnya dari segi ketepatan waktu, kualitas layanan tracking, dan efisiensi pelayanan internasional,” Jelas Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Dari segi biaya, Indonesia paling kompetitif dalam hal ekspor. Hanya membutuhkan biaya bisnis sebesar $211 untuk mengekspor barang dari Indonesia. Namun, biasanya membutuhkan waktu 56 jam untuk ekspor, jauh lebih lama dari rata-rata 45 jam di ASEAN-5. Waktu impor di Indonesia sekitar 106 jam, hampir dua kali lipat rata-rata waktu di ASEAN-5 (58 jam). Biaya impor Indonesia juga paling mahal di ASEAN-5, mencapai $164 dibandingkan dengan rata-rata $104.
“Lucu melihat bahwa biaya paling mahal untuk mengimpor barang ke Indonesia [dibandingkan dengan negara ASEAN-5 lainnya]. Indonesia juga membutuhkan waktu paling lama untuk impor. Jadi bisnis mengalami kesulitan dalam mengimpor bahan baku yang diperlukan,” kata Shinta.
English Version

Companies tend to spend the most money when doing business in Indonesia compared to other ASEAN-5 countries, revealed Shinta Kamdani, Chairperson of the Indonesian Employers Association (Apindo).
According to her, the consequence of the high cost of doing business or investing can hinder existing businesses.
Shinta also added that these high costs are a barrier for Indonesia to become part of the global and regional value chain.
“We always say that Indonesia should be part of the value chain, but this logistics is a problem,” said Shinta.
The Chairperson of the Indonesian Employers Association (Apindo) explained that Indonesia is a country with the highest logistics, supply chain, energy, labor, and loan costs among the ASEAN-5 countries.
ASEAN-5 refers to Malaysia, the Philippines, Thailand, Vietnam, and Indonesia.
The association informed on Tuesday that, Indonesia falls into the category of a high-cost economy, which reduces its competitiveness in the ASEAN-5 region.
“The ongoing problem in our country is that Indonesia is a high-cost economy. … Indonesia has the highest costs for logistics, energy, labor, and loans among the ASEAN-5 countries,” said the Apindo chairman.
Based on data from Apindo, the minimum wage in Indonesia is $329 per month, this is higher than the ASEAN-5 average which is at $302. Malaysia and the Philippines also have a minimum wage at the same figure of $329, while in Thailand it is $313. Vietnam has the lowest minimum wage of $209. In addition, loan interest rates in Indonesia typically range between 8 and 14 percent, a figure higher than the general average of 4-6 percent.
Trade logistics costs in Indonesia reach 23.5% of gross domestic product (GDP), which is much higher compared to 13% in Malaysia and 8% in Singapore. Shinta added, “Although Bappenas believes that Indonesia’s logistics costs have dropped to 14% of GDP, the 2023 Indonesia Logistic Performance Index (LPI) shows otherwise.”
The 2023 (LPI) report indicates areas that need improvement in Indonesia’s logistics performance.
“Especially in terms of punctuality, quality of tracking services, and efficiency of international services,” explained the Chairperson of the Indonesian Employers Association (Apindo).
In terms of cost, Indonesia is most competitive in terms of exports. It only requires a business cost of $211 to export goods from Indonesia. However, it usually takes 56 hours for exports, much longer than the average of 45 hours in ASEAN-5. Import time in Indonesia is about 106 hours, almost twice the average time in ASEAN-5 (58 hours). Indonesia’s import costs are also the most expensive in ASEAN-5, reaching $164 compared to an average of $104.
“It’s funny to see that the most expensive cost to import goods into Indonesia [compared to other ASEAN-5 countries]. Indonesia also takes the longest time for imports. So businesses are having trouble importing the necessary raw materials,” said Shinta.
Writer : Hanna Fawza Alfiyyah
Editor : Nugrahhadi Al Khawarizmi